Mimpi Kecil SeBocah Pulau “Aku Ingin Terbang”
Menggenggam sedikit uang lebih, aku
dan beberapa teman dekat pun memutuskan untuk liburan ke sebuah tempat. Pulau
kecil nan indah, yang saat itu tengah heboh diperebutkan, antara Provinsi Jambi
dan Kepulauan Riau (Kepri).
Dunia Nampak putih bersih bagaikan
kapas. Tatapan tak berujung seolah dunia ini terkurung dalam sebuah balok
kertas. Diperjalanan aku bertanya-tanya, bagaimana caranya pengemudi ini
menentukan jalan. Ya, kami menggunakan speat
boat untuk bisa sampai ke lokasi wisata sengketa itu, “Pulau Berhala”.
Lebih dari tiga jam menunggu, salah
satu sahabatku berteriak tertegun. Sontak mata seluruh penumpang terarah pada
satu titik. Gumpalan kecil hijau kecokelatan. Terlihat seperti lidi kecil
tertancap di atasnya. “Itu pulaunya!!!!” Semua berteriak riang, kaget dan
takjub.
Tak ingin melepaskan kesempatan,
satu per satu kamera dan hanphone berduyun keluar dari tas. Dan.. “jepret..jepret..jepret”. Mayoritas mereka
asyik berfoto meskipun belum sampai.
Hari mulai mendekati senja.
Keindahan alam Pulau Berhala begitu sejuk dan wangi dirasa. Ayunan laut membiru
begitu lembut menyapu pantai. “Ayo kita istirahat dulu,” Kepala Rombongan Kami
berteriak.
--------------------
Mistis Tokek
Seperti biasa, Matahari malu dan
kembali menenggelamkan diri. Teringat kisah di malam hari ketika bercengkrama
dengan warga sekitar. Sempat tercetus sebuah mistis yang memancing rasa
penasaran kami. Beberapa tokek dengan ukuran besar katanya, adalah tokek mistis
yang didatangkan dari Pulau Jawa.
“Ini kalau maghrib ngumpul di sini
untuk makan. Kalau siang mereka nyebar. Ada yang di makam datuk Berhala, ada
yang ke rumah-rumah dan wilayah lainnya. Suara mereka memang besar. Dan suara
mereka rutin berbunyi setiap beberapa menit sekali,” cerita si Bapak-bapak.
Hampir semua mata tepelotot
perhatikan si Bapak-bapak itu bercerita. Melihat rasa penasaran kami yang
begitu antusias dan tinggi, si Bapak-bapak itu pun mengajak kami mengunjungi
beberapa titik yang konon menjadi keberadaan si Tokek.
“Bro… tokeknya gede. Lebih gede
dari jempol kaki yang paling gede.”
“Baru tau ada tokek segede ini,”
dalam hati dengan sedikit merasakan aura mistis (ce i le..)
--------------------
Bebatuan Berserak Rapi
Saat itu pagi masih begitu gelap. Dinginnya
angin menusuk sejuk hingga ke ubun-ubun tulang tangan dan kaki. Tidurku pun terusikkan
suara bising namun merdu. “Itukah hujan???” aku bertanya-tanya sambil melongok
ke arah jendela. Tak ada rintik hujan. Pohon kelapa menari-nari tersapu angin.
“Itu suara ombak!!!” hatiku berteriak girang dan yakin. Kurasa tak ada yang
terbangun kecuali aku saat itu.
Kuputuskan keluar dan mendekati
sisir pantai, sumber nyanyian merdu itu. Tak hanya indah, lantunan suara ombak
terbawa angin begitu sangat menyejukkan hati. “Subhanallah.. ini kuasa Tuhan.”
Batu-batu besar terhampar luas di
sepanjang sisir pantai. Meski terhampar, batu-batu ini seolah tersusun rapi
secara alami. Kuhampiri batu paling besar dengan lokasi strategis yang
terhalang pohon besar dan rindang. Kupilih posisi ujung untuk duduk. Membiarkan
mata kaki tersentuh air laut yang dengan riang menari-nari. Yang kulakukan
hanya diam, menikmati indahnya alam dengan kesejukan udara pagi.
--------------------
Matahari tak lagi malu-malu
menampakkan cahaya. Ini pertanda bahwa pagi telah benar-benar tiba. Seorang
temanku berteriak dan mengayunkan tangan memintaku mendekatinya. Aku tertawa
tipis dan berjalan pelan mendekatinya. Meski terus tersiram air, batu-batu
besar itu sama sekali tak terasa licin. “Mereka sudah bangun,” berjalan
menyusuri pasir dan batu.
“Kau sedang apa sendirian di sana?”
Riska temanku bertanya heran.
“Tidak ada,” jawabku ringan dan
kembali berfoto. “Kita harus hemat batrai,” alihku.
--------------------
Masih di sisir pantai, aku dan
beberapa teman-teman bertemu seorang anak kecil. Posturnya kecil, mungil, hitam
dan berekspresi lurus serius. Meski begitu, sosok anak-anak begitu kental
tercermin di auranya.
SeBocah Anak Pantai. Kusebut demikian karna aku lupa namanya. Siswa SD
yang tak pernah lepas menggenggam juara satu dari tiga siswa. Bahkan aku juga
lupa dia kelas berapa. “Ampunn….”. Penasaran untuk ingat dan hanya bisa
menghela nafas.
Tatapan mata anak ini penuh keyakinan dan
informasi menarik. Meski tak menyangka, anak mungil ini ternyata banyak tahu
soal konflik, mitos serta sejarah singkat Pulau Berhala. Tertarik mendengar
ceritanya, aku dan dua sobatku Riska dan Ita mendekatinya dan berlomba-lomba
menyodorkan segudang pertanyaan. Dengan santai dan santunnya, SeBocah itu pun
menjawab pertanyaan kami satu per satu dengan jelas dan bergilir.
“Di depan kita ini Pulau Dayak kak.
Dulu, di sana tempat tinggalnya orang-orang dayak”. Kami mendengarkan fokus
penuh khidmat. Meski tampak sedikit grogi karna merasa dipelototin, SeBocah ini
tetap santai dan melanjutkan ceritanya.
“Kalau yang itu” sambil menunjuk ke
arah jam dua jarum jam, “Itu pulau lampu. Disebut lampu, karna di sana ada
tower dengan lampu terang kalau malam. Pulau itu adalah pulau pemantau.”
“Oooooo…….” serentak mengangguk dan
kembali serius mendengarkan.
“Tapi tunggu, gaya nunjuk kamu beda
dik?,” Ita bertanya. Kalau diperhatikan, SeBocah ini gaya nunjuknya memang
beda. Menunjuk setiap pulau dengan jari terlipat.
“Kalau orang sini bilang, nggak
boleh menunjuk dengan jari lurus kak. Harus dilipat. Katanya kalau tidak
dilipat nanti bengkok” dia menjelaskan dan tertawa.
Lagi, “Oooooo…” serentak.
“Oke lanjut lanjut,” sahutku
penasaran.
“Kalau di sana kak,” masih menunjuk
dengan gaya lama kea rah jam 8 Jarum Jam, “Di sana ada pulau lagi. Namanya
pulau penyu”
“PULAU PENYU???????,” sontak kami
dengan pelan.
“Di sana banyak penyu?” tanyaku.
“Iya kak, di sana banyak penyu. Penyu kalau bertelur di sana.
Menetasnya juga di sana. Makanya di kasih nama Pulau Penyu”
--------------------
Tatapan Mata SeBocah Pulau
Tak satu pun pembicaraan yang tak berguna
dengan SeBocah ini. Bahasa bicaranya yang tegas dan kritis, menyimpan rasa
kagum dan keyakinan tersendiri, bahwa ini bukan bocah pulau biasa.
“Kamu kalau sudah besar mau jadi
apa dik?,” canda Riska.
Dengan sigap, yakin dan tegas dan
singkat dia menjawab.
“Pilot”
Kenapa?
“Biar bisa terbang kak”
Aku menarik nafas panjang dan menghembusnya
pelan sambil kembali duduk dengan sempurna. Awalnya posisiku terlalu condong
perhatikan dia. Aku, Riska dan Ita hanya bertatap diam seolah komunikasi
melalui kekuatan bathin. “Anak ini benar-benar luar biasa” kalimat kami sama
menilai SeBocah ini. Ya, aku yakin. Karna kami memang berhasil berkomunikasi
via bathin.
Bukan, bukan kalimat dari
jawabannya. Namun ekspresi, keyakinan dan tatapan tegasnya menunjukkan bahwa
perkataan SeBocah kecil ini tak main-main. “Insyaallah cita-citamu terwujud
dik,” ucapku dalam hati.
SeBocah itu pun tersenyum yakin
pasca menjawab pertanyaan itu.
--------------------
Angin semakin kencang menghembus
bibir pantai. Bersama SeBocah ini, kami diajak berkeliling menjajaki lokasi
keramat dan bersejarah. Beramai-ramai kami mengikutinya bersama satu rombongan
wisata kami yang kurang lebih lima belas orang saat itu.
“Ini makam datuk berhalo”
Kami hanya tertegun dan perhatikan
SeBocah ini menjelaskan. Usai mengirimkan doa, kami pun melanjutkan perjalanan
yang enath kemana SeBocah ini akan membawa kami.
“Tunggu!!!!!!!,” teriak seorang
teman terengah.
“Ini Jalan atau apa??,” menancapkan
kayu ke dasar pijakan. Berharap mampu menopang agar tidak terjatuh. Ya.. kami harus
melewati rerumputan tinggi dengan daratan menanjak tinggi. Perjalanan yang
cukup melelahkan.
“Masih jauh ya dik?”
“Kita sudah sampai kak,” teriak
SeBocah dari daratan tertinggi. Kami hanya mendengar suaranya pelan. Rumput dan
pohon begitu rindang sehingga menutupinya. Beruntung kami menemukan posisinya
dengan hanya bermodal petunjuk suara kejauhan.
“Ini apa?,” tanyaku.
“Ini meriam kak, dulu dipakai waktu
perang,” menyadarkan kami bahwa lokasi ini barangkali adalah tempat pertahanan.
Setidaknya ada peninggalan peralatan pertempuran di sini.
--------------------
Menginjak siang, terik Matahari
seolah menjadi magnet sang ombak untuk beristirahat menari. “Ombak mulai reda,
ayo kita pulang,” teriak pengemudi. Sontak semua beralih ke penginapan dan
mengemasi barang dan pulang.
Aku bertanya-tanya dan memalingkan pandangan ke semua sudut, “mana anak
itu?”
--Feature--
Penulis: Novriana Dewi
(Terinspirasi dari kisah nyata saat berlibur ke Pulau Berhala)
Posting Komentar untuk "Mimpi Kecil SeBocah Pulau “Aku Ingin Terbang”"