Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilih Mana, Desa atau Kota?


Ilustrasi




















Aku lahir dan dibesarkan di sebuah desa terpencil di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Merasakan segarnya udara pagi serta sejuknya embun dan tiupan angin laut, kurasakan setiap hari hingga bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). 

Tanah kelahiranku ini memang sedikit lebih panas ketika siang. Sebab, lokasi ini memang tepat di kelilingi sungai besar sebagai muara lautan lepas. Tapi jangan coba-coba tidak berselimut ketika mata terpejam di malam hari. Wajahmu bisa pucat beku sangking dinginnya.

Tanah kami subur diselimuti jutaan pohon kelapa. Daun-daunnya yang melambai hijau, mengiringi lantunan suara angin. Pepohonan itu nampak serasi nan rapi. 

Seolah tak ada  ruang kosong di setiap kebun di kawasan ini. Para petaninya memang kreatif dan rajin. Meski mengandalkan kebun kelapa sebagai tonggak penghasilan, petani tetap memanfaatkan sela tanah kosong kebun untuk ditanami aneka sayur dan buah-buahan. Tak perlu dijual untuk hasil panen tanaman sampingan ini. Cukup dikonsumsi sendiri sudah sangat menguntungkan karna tak perlu mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sesekali burung kutilang berkicau seolah menyanyi. Burung pelatuk pun enggan malu untuk terus melatuk serta melubangi bambu kering yang masih bertengger untuk dijadikan sebagai tempat berteduh. Ranting bambu kecil yang terlihat tak berguna, justru menjadi bahan rebutan bagi anak-anak sekitar untuk disematkan pada senar yang telah diberi kail pemancing. Karna areal ini dikelilingi perairan, mereka lebih memilih memancing untuk mengisi sela hari libur di sekolah. Kala itu, aku adalah salah satu dari mereka.

Ketika sore tiba, aku mulai mengadon dedak kering dengan air, untuk kemudian diberikan kepada ayam dan itik sebagai makanan. Di sudut kanan belakang rumah papan bertingkat inilah aku bercengkrama dengan ternak setiap harinya. Meskipun kerap sewot, namun pekerjaan ini terkadang juga menyenangkan.

Kali Pertama

Menginjak bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), orangtuaku memutuskan untuk menyekolahkanku di Kota. Memang bukan kota besar, tapi di sanalah sebagian besar warga kami memutuskan untuk memberikan pendidikan layak terhadap anak-anaknya. Kota Jambi, sebuah kota kecil yang dialiri Sungai Batanghari. Konon, ini adalah sungai terpanjang di Sumatera.

Dunia kota memang beda dengan desa terpencil layaknya kampung halamanku. Di sini, aku menuai berbagai pengalaman besar. Tentang arti sebuah persahabatan, kebersamaan dan loyalitas. Setidaknya, aku lebih banyak mengenal arti hidup.

Hidup di Kota Jambi kujalani hingga menyandang gelar sarjana dan bekerja. Sesekali pulang kampung, karna memang jarak antara kampung halamanku dan Kota Jambi tak seberapa jauh. Hanya memakan waktu kurang lebih tiga jam menggunakan sepeda motor. Aku lebih memilih pulang kampung via motor, karna biayanya jauh lebih irit. Dengan modal Rp 15 ribu aku sudah bisa pulang menggunakan motor, jauh beda dengan travel yang tarifnya hingga Rp 50 ribu. Bahkan bukan hal mustahil naik hingga Rp 80 ribu ketika hari libur tiba.

Kota Kejam?

Pada akhirnya, pertengahan tahun ini (2014), aku memutuskan untuk melanjutkan studi di Jakarta. Bukan sebuah perjalanan yang bisa kudapatkan dengan mudah. Banyak sisi yang harus kutuntaskan dengan sabar untuk meraih studi ini, menjadi Mahasiswa Pasca Sarjana  Megister Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Selain menarik, studi ini aku ambil karna linear dengan jurusanku sebelumnya, yakni Ilmu Jurnalistik.

Tak sedikit yang memperingatkanku bahwa Jakarta adalah kota yang kejam. Sangking kejamnya, mereka ramah dengan menyebutnya “lebih kejam dari ibu tiri”. Benarkah?

Memang, satu bulan di Jakarta, aku sudah bisa mencium aroma kekejaman yang mereka maksud. Tapi menurutku, pada dasarnya semua relatif. Jakarta adalah kota kejam bagi mereka yang tak berduit. Tapi bagi mereka yang berlimpah harta, Jakarta adalah kota surga. Dengan fasilitas yang serba ada, mereka bisa dapatkan apapun dengan mudah.

Jika untuk menguji nyali, kurasa Jakarta adalah lokasi yang tepat untuk perantau. Menjadikan Jakarta sebagai hal baru, menyimpan tantangan hebat bagi pemula, terutama bagi “kita” yang backround kantong dompet pas-pasan. Sampai di sini, aku mengerti.. kenapa kakekku sampai terucap, “Jika satu, dua atau tiga bulan tidak sanggup untuk hidup di Jakarta, pulanglah”. Sebegitunya pria paruh baya ini mengkhawatirkanku.
Sekarang aku mengerti, bahwa tingkat kekejaman Jakarta itu relatif. Semua bergantung pada taraf dan tingkat perekonomia Anda, juga saya.

Pilihan Anda?

Seseorang pernah berkata, “Di masa tua, desa adalah tempat yang tepat”. Alasan yang tersirat dari obrolan panjang bersamanya, berkesimpulan bahwa desa memiliki khas kekeluargaan yang sangat erat. Kebersamaan, keasrian serta ramahnya kehidupan di desa, menjadi lokasi yang nyaman dan menenangkan. Terutama bagi mereka yang mencintai kedamaian.

Namun di tempat dan waktu yang berbeda, seseorang juga pernah berkata, “jika ingin hidup sukses dan tercukupi secara materi, kota besar adalah tempatnya.

Karakter anak desa dan kota terutama kota besar memang jauh berbeda. Jika aku menganalogikan, kira-kira seperti ini; prinsip anak desa; makan tak makan, yang penting kumpul. Berbanding terbalik dengan prinsip mereka yang terbiasa hidup di kota besar: ngumpul tak ngumpul, yang penting makan. Hehe..
So??? 

Semua hanya bicara soal jalan hidup dan pilihan.





Salam sharing, Novriana Dewi

                                                                                                   

Posting Komentar untuk "Pilih Mana, Desa atau Kota?"