Supir Taksi “Sek Enak Jamanku Tooo?”
Sore begitu
hangat menyengat kulit. Aku dan tiga temanku sepakat bertemu di Jakarta Pusat. Dan
kami pun memutuskan untuk memanggil taksi.
------------------------
Beberapa
detik melambaikan tangan, sebuah taksi datang menghampiri. Salah satu temanku
yang putra, memutuskan untuk duduk di bagian depan tepat di sebelah kiri supir.
Sedangkan aku dan satu temanku yang putri, duduk di belakang dengan nyaman
karna luas. Satunya lagi telah menunggu di lokasi pertemuan saat itu.
Menginjak
pukul 4 sore, jalanan mulai ramai dilalui pengendara. Baik sepeda motor,
angkutan umum, pribadi maupun busway. Barangkali karna disebut-sebut sebagai
Negara hukum, pelanggaran hukum di Indonesia terjadi di mana-mana, terutama
ibokota Jakarta.
Rambu-rambu
lalu lintas memberikan simbol lampu merah tanda perintah kepada pengguna jalan
untuk berhenti. Meski begitu, bunyi klakson mobil terdengar di mana-mana. Suara
itu sepertinya bersumber dari sebuah angkutan umum yang ingin menerobos badan kiri
jalan. Namun karna niatnya terhalang pengguna jalan di hadapan mobil,
membuatnya geram dan membunyikan klakson sekencang-kencangnya.
Jujur itu
sangat mengganggu. Kalau punya ilmu menghilang, mungkin aku sudah keluar taksi
dan melemparnya dengan botol kaca, atau benda tumpul apa saja yang bisa
menghentikan suara klakson itu. Suara klakson dengan suara super nyaring yang
tak ada merdu-merdunya.
Di tengah
persimpangan jalan, terlihat beberapa polisi lalu lintas dengan seragam khas
hijau mencolok. Kelihatanya, mereka tengah sibuk mengawasi dan mengatur ritme
berkendara pengguna jalan. Satu di antaranya mengawasi puluhan orang yang
melintasi garis zebra untuk menyebrang. Sesekali terdengar suara peluit tanda
polisi ini benar-benar bekerja.
Di tengah
kerumunan mobil dan motor yang terhenti oleh lampu merah, supir taksi ini tiba-tiba
berkata, “Jaman sekarang nggak ada yang takut melanggar lalu lintas,” ujarnya.
Pria paruh
baya ini pun membandingkannya dengan kondisi lalu lintas era pemerintahan
Soeharto. Menurutnya, di era pemerintahan Soeharto, bahkan tak ada satupun
warga yang berani melanggar peraturan lalu lintas.
“Kalau
zamannya pak Soeharto dulu, mana ada yang berani melanggar peraturan,” ucapnya
sambil menatap salah satu pengguna sepeda motor tak berhelm, yang menghentikan
motor tepat di garis penyebrangan pejalan kaki.
Beberapa
menit menanti sabar, akhirnya lampu hijau pun menyala. Tak ada lagi suara
klakson mobil berisik yang mengganggu tadi. Meskipun jalanan mulai dikerumunin
pengendara, namun jam ini belum menunjukkan macetnya para macet. Setidaknya,
perjalanan sore ini tak akan lebih menyebalkan dari perjalanan satu atau dua
jam kemudian. Ya, macetnya Jakarta memang super wow. Jauh lebih wow dari sekedar
makan rawit dicampur lada.
Back to The Past
Sambil
membelokkan strir mobil ke kanan depan, bapak tua ini kembali melanjutkan
analisa perbandingannya. Sebagai generasi yang sempat merasakan sentuhan masa
kepemimpinan Soeharto, ia justru memilih untuk kembali ke masa itu. Masa di
mana menurutnya, jauh lebih aman dan nyaman dibandingkan era reformasi (pasca
pemerintahan Soeharto hingga sekarang).
Nada
bicaranya seolah benar-benar menunjukkan betapa ia ingin kembali ke masa itu.
Masa kepemimpinan otoriter yang ternyata, justru memberikan efek aman dan
nyaman bagi sebagian masyarakat Indonesia saat itu. Seperti yang dikatakan
bapak ini bahwa, “Hidup di zaman Pak Soeharto itu lebih terasa aman dan nyaman.
Wong cilik lebih diperhatikan,” ujarnya.
Ulah para
elit politik serta pejabat era reformasi ini menurutnya, hanya mementingkan
kepentingan-kepentingan kelompok dan pribadi. Tidak lagi menjadikan rakyat
kecil sebagai prioritas kesejahteraan.
“Kalaupun
dulu ada koruptor, masyarakat kecil tetap diperhatikan. Kalau sekarang,
pejabat-pejabat itu ya cuma ngurusin urusan mereka aja,” keluhnya.
Meski
diakuinya bahwa era kepemimpinan Soeharto, sistem kemiliteran yang terkenal
dengan gaya otoriter tanpa ampun menyimpan kesan yang horor. Namun sebagai
rakyat kecil yang merindukan kesejahteraan dan kenyamanan hidup, gaya
kepemimpinan tersebut justru memberikan efek perlindungan baginya.
“Kalau
zaman dulu jangan cobak-cobak melanggar, bisa langsung ditembak. Tapi hidup
kita memang benar-benar nyaman. Terserah deh yang di atas para pejabatnya mau
gimana, yang penting rakyatnya aman,” kenangnya sambil menginjak gas perlahan. Sesekali
menginjak rem dan sedikit membanting setir ketika jalanan padat.
Penulis: Novriana Dewi
Posting Komentar untuk "Supir Taksi “Sek Enak Jamanku Tooo?”"