Menjadi Anak Kos, dan “Mie”
Antre mandi, jarang makan, suka begadang,
menu makan nggak jauh-jauh dari mie dan telur. Gue prediksi, kalian pasti anak
kos.
------------------------------------------
------------------------------------------
Masa SMA Gue udah ngerasain gimana
rasanya jadi anak kos. Ya waktu itu jenis kosnya masih kos pingit. Pingit itu apa ya, anggap aja kos kamar dengan peraturan
serta pengawasan yang super ketat dari ibu kos. Dan makan pun catering, kira-kira begitu.
Meskipun berprofesi sebagai anak
kos dengan makan catering, Gue juga
akrab dengan menu yang biasa disantap anak kos tanpa peraturan ketat dari ibu
kos “mie instan rebus, pake telur”.
Setiap pagi menu menyebalkan ini
tak pernah terlewatkan. Dan na’asnya, ibu kos selalu ngeteh di sebelah meja
makan setelah menghidangkan soto versi mie instan buatannya. Saatnya memanggil
para penghuni kos, dan.. “Ayo cepat dimakan, nanti medok,” ibu kos bilang begitu. Pengen teriak tapi nggak berani,
akhirnya ditelen dengan wajah super pilu.
“Bisa
dibungkus nggak ya…?” :’(
Akibat insiden pagi yang rutin
terjadi ini, Gue jadi trauma dengan kata “mie”. Jangankan melihat apalagi
mencium aromanya, mendengar kata “mie” perut sontak muter-muter kayak blender. Loe
bayangin deh pilunya gimana.
Trauma ini maksain Gue mutar
kepala, gimana caranya menghindari insiden yang selama ini tak terlewatkan itu?
Meletakkan telunjuk kanan hidung, berpindah ke atas hidung, hingga berpindah ke
jidat. Mondar mandir di dalam kamar hingga bersemedi layaknya suffy. Gue sedang
mencari hidayah. Dan.. AHAAAAAA… Gue punya ide.
Ada dua cara yang kemungkinan
efektif menghadapi si soto instan buatan ibu Kos. Menghadapinya secara gentle tapi licik, atau menghindari dan
terima resiko, DIMARAHI. Oh My God….. Gue hampir lupa kalau Ibu kos sungguh
galak (Kebayang mimik wajahnya L).
Gue coba cara yang pertama. Menghadapinya secara gentle tapi licik.
Oke.. matahari udah terang,
waktunya sarapan dan berangkat ke sekolah. Seperti biasa, soto versi mie instan
udah siap di depan mata. Saatnya menyantap, oppsss.. tunggu dulu.
“Nek, saya makan di kamar aja,”
Sapa Gue ke ibu kos (ambil mangkuk dan langsung pergi).
Loe pikir Gue langsung ke kamar dan
makan tu soto? Enggak brayyy.. Gue ke tetangga sebelah yang ada tong sampahnya.
Dengan sangat menyesal dan penuh rasa bersalah, tu soto Gue buang dengan sangat
terhormat.
“Oh mie, maafin Gue. Gue nggak
bermaksud nyia-nyia’in loe, :’(.
Tak tik ini mampu bertahan hanya
dalam waktu beberapa minggu. Lama-lama, nggak tega juga Gue harus buang-buang
semangkuk soto versi mie instan setiap pagi. Kalau dihitung-hitung, berapa duit
yang udah Gue buang. Dan akhirnya, Gue memutuskan untuk menggunakan strategi
yang ke dua.
Strategi yang kedua agak sedikit
lebih sadis. Tapi Gue harap ini berhasil. Tingkat kesensitifan ibu kos sangat
menentukan keberhasilan strategi ini. Apa strateginya, coba kita simak.
Hari ini Gue bangun lebih subuh
dari subuh biasanya. Gue mandi paling duluan, bersiap paling duluan, dan pergi
sekolah paling duluan. Yap, berangkat sebelum mie tersuguhkan. Al hasil, Gue
sarapan di sekolah dengan menu “Nasi Gemuk”. Biarin deh gemuk karna nasi, gemuk
karna mie posturnya melar kan. Eughhhh……..
Beberapa hari terlewati, bu kos
mulai nanya, kamu sarapan dimana, kok berangkatnya pagi mulu? Gue langsung
jawab, suka ngerjain PR di sekolah nek, sambil sarapan nasi gemuk di kantin. “O
gitu,” bu kos langsung diam.
Dan besoknya, bu kos manggil Gue
waktu Gue lagi mengkreasikan tali sepatu Gue jadi sebuah pita. Ya, pita.
Anggaplah begitu. “Kenapa nek?,” jawab Gue. Ini nasi gemuk buat sarapan di
sekolah. “OH MY GOD! Senengnyaaaaa……..”
Hari ini Gue bener-bener merdeka
dari mie. Dan sejak itu, menu sarapan gue suka berubah-ubah. Nggak selalu mie
instan rebus doank, tapi suka gonta ganti sama menu lain, kalau ngga nasi
gemuk, kadang juag lontong. Alhamdulillah…. Merdeka dari mie!
Kuliah..
Cerita Gue kuliah masih berkelut
dengan tragedy mie. Kali ni Gue kos nggak pake catering, tapi masak sendiri. Anak
kos yang judulnya masak sendiri, pasti udah akrab banget sama mie. Karna rasa
trauma Gue ke mie rebus udah mulai luntur, Gue hajar lagi ni dengan mie rebus.
Sebenarnya Gue masak mie rebus juga
karna terpaksa. Kadang karna capek dan kelaperan, sehingga memaksa Gue harus
masak makanan yang cepat dan instan, akhirnya Gue milih mie. Trus kadang juga
karna sibuk, jadi pengennya yang praktis-praktis, kadang juga karna malas sih.
Hehe…
Yang namanya trauma, ternyata bisa
balik lagi meskipun udah sembuh. Lama-lama rasa eneg Gue sama mie instan,
terutama mie rebus makin akud. Kali ni Gue benar-benar eneg sama mie rebus.
Ganti menu deh, “telur gorengggggg”.
Rasa trauma sama mie rebus memang
dahsyat membekasnya. Bahkan sampai Gue kuliah S2 pun, Gue masih suka eneg sama
mie rebus. Gue bahkan hamper lupa betapa nikmatnya menyeruput mie rebus pake
telor, yang ditambahin cabe rawit iris semasa SMP dulu. Kenangan pahit
menghapus kenangan lama yang manis itu. Sungguh kejam.
Buat anak kos, usahakan jangan jadi
pemangsa mie ya. Selain nggak sehat, mie instan juga bisa bikin loe trauma.
Contohnya Gue ni. Dan sekarang Gue harus rajin therapy buat ngilangin rasa eneg Gue terhadap mie rebus. Caranya
ya, dengan enggak lagi makan mie rebus. Sungguh anak kos.
Penulis :
Novriana Dewi
Posting Komentar untuk "Menjadi Anak Kos, dan “Mie”"