Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tuhan Kumohon “Matikan Aku”


Ilustrasi/NET

















Tentang perjalanan hidup yang pastinya setiap orang punya jalurnya masing-masing. Tentang sebuah perjuangan yang lagi-lagi, setiap orang memilih kuasanya masing-masing.
 
Tentang sebuah doa menakutkan “Tuhan, kumohon matikan aku”.

Bukan, itu bukan doaku. Doa seseorang yang kurasa, perjalanannya benar-benar penuh liku. Dan mungkin, keberaniannya melampaui jauh keberanian yang kujadikan senjata dalam menjalani derasnya hujan, serta tiupan angin kencang belakangan ini.

Tentang sebuah tekad yang diselimuti benteng keberanian membara, terselip kekhawatiran dan rasa takut mendalam di lubuk hati. Akankah tekad, perjuangan serta perjalanan panjang yang telah melibatkan, menyusahkan serta memaksa tak sedikit orang untuk menatapmu, dengan keberanianmu menentang mereka-mereka yang melarangmu melangkahkan kaki pada pilihanmu, akankah tujuan itu tercapai?

Tentang doa seseorang yang juga memotivasiku untuk memilih jalan ini. Kurasa, dia pernah berada pada posisi ini. Sehingga dia benar-benar tahu aku membutuhkannya. Asupan energi keberanian, kepercayaan, keyakinan, serta motivasi. Di sela obrolan tengah keramaian malam itu, dia memintaku untuk tidak meng-copy paste doanya semasa berjuang dulu.

“Tuhan, Jika atas ini suatu saat aku pun tak urung menjadi apa-apa, Kumohon matikan aku sekarang. Kumohon tabrakan aku pada bus itu. Kumohon matikan aku sekarang juga.”

“Doa itu sering terucap saat saya berjalan menyisiri gersangnya kota. Doa itu terucap, mengiringi rasa takut mendalam akan kegagalan. Akan kesia-siaan.” Kalimat itu terlontar terbata. Aku sedikit membayangkan posisinya saat itu. Berjalan di tengah raya kota, tempat para mobil dan big buss melintas. Meminta tuhan menabrakkan pada salah satu di antaranya. Itu benar-benar horor. Bahkan aku tak berani berdoa se-ekstrem itu.

Mendengar lontaran kalimat-kalimat itu, aku menjadi semakin sadar bahwa untuk menikmati dunia, begitu banyak rasa pahit yang harus kita cicipi. Menurutnya, mereka yang benar-benar sukses bahkan merasakan sakit yang lebih dari ini. Bahkan mungkin, kepahitan yang kita anggap pahit ini tak ada apa-apanya dibandingkan kepahitan mereka. Jadi janganlah mengeluh.

Ya, kurasa tuhan maha adil. Jika toh suatu saat hasil yang kudapat tak sebanding dengan apa yang kuingin capai, berarti pahit yang kusebut pahit ini belum cukup.

Awalnya kupikir, aku hanyalah seorang pengecut yang hanya menginginkan keberhasilan. Tapi sampai di sini, keadaan memaksaku untuk belajar betapa indahnya bersyukur dan ikhlas. Tiba-tiba aku jadi ingat kalimat seseorang, “Nak, kunci menjalani hidup hanya terletak pada dua kata yakni Sabar dan Ikhlas”.

Ya. Dengan kesabaran, kita akan menjadi sosok yang paling kuat dari makhluk apapun yang paling kuat di dunia ini. Dan dengan menjadi sosok yang penuh keikhlasan, kau akan menjadi insan yang paling bahagia.

Keadaan menyadarkanku betapa kita jauh lebih beruntung dari mereka. Mereka yang terpaksa mengamen demi sesuap nasi, mereka yang terpaksa meminggul beras di atas pundaknya yang renta demi meneruskan hidup. Kita bahkan bisa makan nasi sepuasnya tanpa harus mengais botol-botol bekas dan kardus tak layak pakai di tong sampah.





Penulis: Novriana Dewi

1 komentar untuk "Tuhan Kumohon “Matikan Aku”"

  1. saya suka di kutipan "menikmati dunia, begitu banyak rasa pahit yang harus kita cicipi."

    BalasHapus