Anak Kampung dan Mimpinya
Anak kampung penampilannya emang nggak oke. Anak kampung pakaiannya lusuh, kemana-kemana pakai sendal jepit bahkan nggak jarang berjalan-jalan tanpa mengenakan alas kaki. Tapi ingat bahwa otak, hati dan kelakuan mereka nggak selusuh penampilannya.
Di kampung saya tepatnya salah satu desa terpencil Provinsi Jambi, anak-anak kecil sudah pada pintar cari duit. Anak-anak kecil udah pada pintar bantuin orangtua kerja, memasak, mencuci, bahkan kerja buruh layaknya orang dewasa. Tapi uang yang mereka hasilkan bukanlah untuk foya-foya. Mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan pribadinya tanpa harus meminta uang saku dari orangtua. Untuk bisa jajan di sekolah layaknya anak-anak tajir, mereka rela bekerja menjadi buruh upah panen kelapa.
Inget banget waktu SD saya berbagi jajanan kantin dengan salah satu teman. Hari itu dia nggak ke kantin, kenapa? Karena dia tidak punya uang hanya untuk sekadar jajan. Ya, beberapa waktu belakangan panggilan untuk menjadi buruh kupas kelapa menurun. Rendahnya harga kelapa menjadikan petani berpikir dua kali untuk memutuskan panen dalam waktu dekat. Kalau diingat-ingat kejadian itu, saya berasa pengen nangis.
Anak-anak kampung meskipun mereka nggak pernah kursus private, meskipun nggak pernah minum susu mahal, vitamin, daging dan buah-buahan mahal, mereka hidup sehat bahagia dan pintar. Kalaupun pengetahuan mereka cenderung lebih minim dibandingkan anak-anak tajir di perkotaan, itu bukan perihal anak-anak perkotaan lebih pintar. Kesenjangan terjadi hanya karena persoalan fasilitas.
Di saat anak-anak gaul di kota memiliki ragam gadget, laptop super canggih, dengan fasilitas internet super cepat di mana pun bahkan di rumah, anak kampung hanya punya buku tulis tipis murah dan pensil. Jangankan untuk membeli gadget mahal, untuk membeli komputer jadul aja mereka nggak mampu. Dan di saat anak-anak kota pinter bahasa inggris, anak kampung cuma pinter bahasa daerah. Kenapa? Karena mereka nggak punya kesempatan untuk kursus bahasa inggris baik karena keterbatasan biaya, lingkungan dan tenaga pengajar.
Sebagai anak kampung saya tahu banget bagaimana seorang anak kampung yang ingin pintar tapi nggak punya fasilitas. Pengen sekolah tinggi tapi nggak punya duit. Tapi terkadang, keinginan itu tiba-tiba tertelan begitu aja karena sadar 'emang aku siapa, punya apa dan bisa apa'. Mereka bahkan takut untuk bermimpi tinggi.
Saya lihat di kampung betapa banyak anak yang pintar. Tapi toh, ujung-ujungnya mereka terpaksa memilih tetap hidup di kampung dan menjadi buruh tani. Padahal menurut saya, mereka punya hak dan bisa untuk mendapatkan lebih dari itu. Tapi lagi-lagi, mereka tak punya jalan dan pilihan.
Emang sih, Indonesia punya banyak program beasiswa baik dari pemerintah ataupun perusahaan melalui CSR-nya. Tapi apakah program itu merambat ke desa-desa? Kalau pun ada menurut saya, persyaratan terkadang sifatnya diskriminatif. Contoh, ada beasiswa yang mengharuskan calon penerimanya harus lancar bahasa inggris. Anak desa mana sih yang pintar bahasa inggris? Mereka belajar bahasa inggris di mana coba, kalaupun ada paling juga anak-anak orang tajir yang sekolah di kota. Sedangkan yang membutuhkan beasiswa adalah mereka-mereka yang tidak mampu kan.
Bicara soal mimpi anak kampung, saya pernah berkunjung ke sebuah pulau terpencil di Kepulauan Riau. Di sana saya bertemu dengan seorang anak kecil yang pintar, ramah, lincah, sopan, santun dan berani bermimpi. Kampung yang dia tinggali sangatlah terpencil. Bahkan hanya ada sekolah dasar di sana, dengan tenaga pengajar dan fasilitas yang sangat terbatas. Tapi ketika ditanya cita-cita, dengan yakin dan mantap dia berkata ingin jadi pilot. Tatapan matanya bikin saya merinding waktu itu.
Anak kampung seolah dipaksa mengusap air mata dan menelan dalam-dalam mimpi besarnya. Saya hanya berharap, anak kampung yang memiliki kualitas dan mimpi tinggi seperti bocah tadi memiliki kesempatan untuk mengejar impiannya. Karena saya yakin, anak-anak yang seperti ini nggak akan pernah lupa kampung halamannya. Bagaimana kampung-kampung terpencil bisa maju, jika tidak diawali dengan memberdayakan sumberdaya manusianya.
Saya cuma pengen bilang bahwa anak kampung juga berhak mendapatkan pendidikan layak. Mereka juga punya hak untuk berekspresi dan berkreasi layaknya anak-anak kota. Saya harap, pemerintah akan lebih peka terhadap kualitas pendidikan anak perdesaan.
Di kampung saya tepatnya salah satu desa terpencil Provinsi Jambi, anak-anak kecil sudah pada pintar cari duit. Anak-anak kecil udah pada pintar bantuin orangtua kerja, memasak, mencuci, bahkan kerja buruh layaknya orang dewasa. Tapi uang yang mereka hasilkan bukanlah untuk foya-foya. Mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan pribadinya tanpa harus meminta uang saku dari orangtua. Untuk bisa jajan di sekolah layaknya anak-anak tajir, mereka rela bekerja menjadi buruh upah panen kelapa.
Inget banget waktu SD saya berbagi jajanan kantin dengan salah satu teman. Hari itu dia nggak ke kantin, kenapa? Karena dia tidak punya uang hanya untuk sekadar jajan. Ya, beberapa waktu belakangan panggilan untuk menjadi buruh kupas kelapa menurun. Rendahnya harga kelapa menjadikan petani berpikir dua kali untuk memutuskan panen dalam waktu dekat. Kalau diingat-ingat kejadian itu, saya berasa pengen nangis.
Anak-anak kampung meskipun mereka nggak pernah kursus private, meskipun nggak pernah minum susu mahal, vitamin, daging dan buah-buahan mahal, mereka hidup sehat bahagia dan pintar. Kalaupun pengetahuan mereka cenderung lebih minim dibandingkan anak-anak tajir di perkotaan, itu bukan perihal anak-anak perkotaan lebih pintar. Kesenjangan terjadi hanya karena persoalan fasilitas.
Di saat anak-anak gaul di kota memiliki ragam gadget, laptop super canggih, dengan fasilitas internet super cepat di mana pun bahkan di rumah, anak kampung hanya punya buku tulis tipis murah dan pensil. Jangankan untuk membeli gadget mahal, untuk membeli komputer jadul aja mereka nggak mampu. Dan di saat anak-anak kota pinter bahasa inggris, anak kampung cuma pinter bahasa daerah. Kenapa? Karena mereka nggak punya kesempatan untuk kursus bahasa inggris baik karena keterbatasan biaya, lingkungan dan tenaga pengajar.
Saya lihat di kampung betapa banyak anak yang pintar. Tapi toh, ujung-ujungnya mereka terpaksa memilih tetap hidup di kampung dan menjadi buruh tani. Padahal menurut saya, mereka punya hak dan bisa untuk mendapatkan lebih dari itu. Tapi lagi-lagi, mereka tak punya jalan dan pilihan.
Emang sih, Indonesia punya banyak program beasiswa baik dari pemerintah ataupun perusahaan melalui CSR-nya. Tapi apakah program itu merambat ke desa-desa? Kalau pun ada menurut saya, persyaratan terkadang sifatnya diskriminatif. Contoh, ada beasiswa yang mengharuskan calon penerimanya harus lancar bahasa inggris. Anak desa mana sih yang pintar bahasa inggris? Mereka belajar bahasa inggris di mana coba, kalaupun ada paling juga anak-anak orang tajir yang sekolah di kota. Sedangkan yang membutuhkan beasiswa adalah mereka-mereka yang tidak mampu kan.
Bicara soal mimpi anak kampung, saya pernah berkunjung ke sebuah pulau terpencil di Kepulauan Riau. Di sana saya bertemu dengan seorang anak kecil yang pintar, ramah, lincah, sopan, santun dan berani bermimpi. Kampung yang dia tinggali sangatlah terpencil. Bahkan hanya ada sekolah dasar di sana, dengan tenaga pengajar dan fasilitas yang sangat terbatas. Tapi ketika ditanya cita-cita, dengan yakin dan mantap dia berkata ingin jadi pilot. Tatapan matanya bikin saya merinding waktu itu.
Anak kampung seolah dipaksa mengusap air mata dan menelan dalam-dalam mimpi besarnya. Saya hanya berharap, anak kampung yang memiliki kualitas dan mimpi tinggi seperti bocah tadi memiliki kesempatan untuk mengejar impiannya. Karena saya yakin, anak-anak yang seperti ini nggak akan pernah lupa kampung halamannya. Bagaimana kampung-kampung terpencil bisa maju, jika tidak diawali dengan memberdayakan sumberdaya manusianya.
Saya cuma pengen bilang bahwa anak kampung juga berhak mendapatkan pendidikan layak. Mereka juga punya hak untuk berekspresi dan berkreasi layaknya anak-anak kota. Saya harap, pemerintah akan lebih peka terhadap kualitas pendidikan anak perdesaan.
Posting Komentar untuk "Anak Kampung dan Mimpinya"